Ketika senja melangsir kata. Sebuah kalimat yang selalu memberi harapan besar. Bukan hanya sekedar menanti terwujud. Senja mampu menjadi pemicu kalbu untuk saya, membuat saya mampu berkata "sanggup mengubah asa menjadi nyata". Semoga hal yang sama dapat kamu rasakan saat usai membaca cerita yang saya buat dengan penuh rasa ya. Happy reading guys :)
Ketika Senja Melangsir
Kata
Ketika
senja melangsir kata. Gerimis berlapis-lapis tak kunjung berhenti mengiris sore
ini. Udara kian lembab. Matahari senja sedang melukis pelangi diufuk barat
sana. Hingga spektrumnya terpendar dalam setiap sela ruangan. Membentuk sejuta
warna hati yang gelisah. Dirundung cemas. Dipagut rindu yang kian menderu.
Ya Rabb,izinkan
aku bersama malaikat penurun hujan-Mu. Menabur benih hujan dari langit. Agar
aku dapat menyirami separuh bumi yang tandus. Hingga aku dapat melihat senyum
orang-orang tercinta karena Karunia-Mu. Hingga aku dapat membuat sang surya merasa tenang di peraduannya dan ananda mengutas bahagia disetiap rembulan menarik sinarnya.
Selepas
Ashar. Jamaah shalat Ashar meninggalkan masjid satu persatu. Sebagian lampu
masjid sudah dinyalakan. Kesunyian mulai merayap. Angin bertasbih pada dedaunan
pohon ketapang dan diantara gemercik air. Matahari tersaput awan. Sayup-sayup
terdengar tilawah Al-Quran dari kamar ta’mir masjid. Suaranya mendayu-dayu.
Terasa syahdu dalam kalbu.
Pada
shaf putra . Aku mengenakan gamis merah marun yang sedikit kusam. Jemariku tak
henti memilin biji tasbih. Sementara bibirku berlumur tasbih dan tahmid, memuja
Rabb Allah Azza Wajalla.
Sementara
itu, seorang remaja putra berada disampingku. Dalam sujud panjangnya, terdengar
gemuruh doa dari kedalaman hati. Hingga sajadahnya bersimbah airmata. Seusai
salam, ia menepis airmatanya dengan telunjuk dan ibu jarinya.
“Mengapa
kau menagis, Adikku ?”
Remaja
laki-laki itu hanya menunduk dan menggeleng seraya mengusap air mata yang juga
masih terdengar isakkan tangisnya.
Aku
memeluk pundak anandaku Taufik, adik tercintaku. Tak henti aku menepuk-nepuk
pundaknya tanda bahwa aku inigin menunjukan bahwa aku mampu menjadi pendengar yang
baik untuk adik tercintaku. “Mas apakah Taufik harus mengikhlaskan Anan ?”
tanyanya kepadaku diiringi dengan sesenggukan yang menandakan luka begitu
dalam.
“Ya,
adikku. Insya Allah, akan lebih baik
jika kamu mengikhlaskan cinta dibukan masa. Jika kamu telah memiliki bekal yang
cukup untuk menjadi imam yang baik bagi makmummu, dan ayah yang bijak bagi
anak-anakmu kelak, maka segerakanlah akhwat yang shalehah untuk menjadi
bidadari dalam perjalanmu. Karena kalian belum menemukan masa dimana
benar-benar memahami komitmen. Lebih baik kamu fokus dalam belajar dan
memantaskan diri dulu hingga kamu dan pendampingmu baik Anandiani atau siapapun
itu mampu menjadi umat di jalan yang lurus milik Allah”
“Selama
ini Taufik menganggap Anan seperti adik Taufik sendiri. Taufik tak berani
mencintainya Mas. Tapi semua itu membuat Taufik merasa menyayanginya dengan
ikhlas.”
“
Jika kamu dan Anan sudah mepersiapkan diri untuk membangun cinta dengan
Ridho-Nya, maka segeralah untuk menghalalkannya.”
“Astaghfirullahal’adzim! Mas Imam, Taufik
masih mengeyam pendidikian dibangku SMA. Mana mungkin Taufik menikah, lantas
apa yang akan membuat kami kokoh membangun cinta tanpa sebuah kematangan yang
sejak jauh hari harus dipersiapkan ? Taufik tahu pacaran adalah hal yang nista.
Mendekati zina. Haram hukumnya. Dan tak mungkin Taufik melakukannya.” Taufik
meninggikan suaranya. Sorot matanya menyala-nyala. Namun, pesona manis wajahnya
tetap terjaga.
“Mungkin
sudah saatnya Mas bercerita kepadamu. Bagaimana Mas menjalani kegelisahan
dimasa remaja. Penuh airmata kegundahan. Hanya ketir yang Mas rasa.
Terombang-ambing dengan masa depan dan harapan.”
“Benarkah,
Mas ? Mengapa Mas selama ini tak pernah menceritakannya?”
***
Senja
berganti. Adzan Maghrib telah berkumandang. Jamaah melakukan shalat maghrib dan
isya ditempat dimana aku dan adik tercinta sedari tadi berbincang-bincang. Jamaah
shalat isya’ meniggalkan masjid satu persatu. Sebagian lampu masjid telah
padam. Pintu-pintu telah terkunci.Bulan bersaput awan. Malam semakin pekat.
Tanpa rembulan. Tak berbintang. Hanya angin malam yang semakin liat bertasbih,
beradu dengan lantunan ayat-ayat suci dari kamar ta’mir masjid, hingga menembus
langit.
Aku menutup pintu masjid, agar angin tak
begitu besar menerpa perbincanganku dengan Taufik. Dalam rangkulanku, dalam
balutan gamis merah marun penuh kasih, ananda adik tercintaku mendengarkanku
bercerita untuknya.
***
Ketika
matahari tersaput awan, dan ketika rembulan bersiul diatas bunga-bunga ditaman,
aku berpijak seorang diri dibawah rindangnya pepohonan, merenungi kehidupanku
sendiri sambil menajamkan pandangan ke gemerlap bintang. Dikejauhan terdengar
gemercik air sungai yang mengalir cepat, sambil menyenandungkan perjalannya
menjuju lembah.
Berat
rasanya menginjakkan kaki dipondokini. Tempat ummi meneteskan airmata tanpa
seorang pun yang menyeka. Baju koko yang kucel yang kukenakan sejak alam
menggeliat membuka selubung gelapnya, hingga matahari senja melukis
pelangi diufuk barat. Saat aku beranjak
dari masa kecil. Hadiah terindah. Hadiah terindah dari abi saat menerima gaji
setelah sekian lama tak pernah tersisa. Saat aku berusaha memberi mahkota untuk
ummi dan abi kelak. Saat aku masih mampu menghempaskan tubuh di atas matras.
Caraka.
Hanya seorang anak caraka yang dititipkan untuk mengenyam pendidikan dikalangan
menegah selepas kepergian abiku. Tebuireng adalah tanah Aisyah dibesarkan dan
dikhitbah tepat lima hari yang lalu. Karena ayahnya Aisyah mewasiatkan putri
tercintanya untuk menjadi makmum bagi anak sohib ayahnya sejak kecil.
Entah
mengapa aku selalu berangan menjelma bersama buih gerimis diluar jendela
kamarnya. Agar aku dapat memandang lekat wajahnya sebagaimana ia melihatku.
Hingga aku dapat memandang Aisyah tersenyum dibalik kerudung hijaunya. Mencium
aroma lezat disetiap senja, disaat spektrum terpendar dalam setiap sela jendela
rumahku. Rumah kita. Rumah aku dan Aisyah. Harapan itu selalu membayangiku.
Walau hingga mawar tak lagi berkelopak. Ya rabb, aku sungguh jatuh
cinta.
Ketika
rembulan enggan berhenti memainkan jemarinya diatas kota Jombang yang masih
dihiasi gemerlap lampu malam. Aku terbangun dua jam lebih pagi dibandingkan
santri lainnya. Hanya sekedar menyapu halaman, membakar sampah, menyapu dan
mengepel lantai serta membersihkan kaca jendela pondok pesantren Tebuireng dan
ditemani sahabat abiku. Hal ini aku lakukan agar pondok ini tak berdebu dan aku
melakukan segala aktivitas lain yang selalu dikerjakan abi. Ikhlas. Sungguh
Ikhlas. Hanya saja ketir yang terus kurasa melihat Aisyah dapat tersenyum bukan
untukku dan karenaku.
Aku tak peduli dengan diriku
sendiri. Tak ada jejak sedikit pun ajaran yang selalu abi tanamkan. Aku tak
bisa melihatnya, ini semua karena Aisyah. Aku selalu mengingat kejadian itu,
kesalahan yang aku nikmati. “Aisyah aku sungguh mencintaimu” gumamku. Dan
dengan anggunnya Aisyah menjawab “aku bersedia menjadi makmum untukmu.” Sungguh
aku tenggelam dalam bahagiaku. Aku pun terbangun saat matahari membuka selubung
gelapnya. Disampingku terdapat wanita impianku. Aisyah. Aku menggenggam
tanggannya erat erat. Ini kali pertamaku melabuhkan tangan di tubuh seorang
akhwat. Sungguh begitu indah dan tak ingin aku beranjak sedikit pun dari tempat
ini. Dikoridor perpustakaan. Kami mengerjakan tugas fiqih bersama hingga
akhirnya tertidur. Penuh perjuangan untuk dapat berdua dengannya karena
tentunya kami harus sembunyi-sembunyi dari para santri dan pengajar.
Aku begitu menikmati kesalahan yang
aku perbuat. Berusaha keluar dari pondok dimalam hari, merokok dan berbagai
kenakalan telah aku coba. Aku begitu jauh dari-Nya. Terjerambab begitu dalam
pada lubang kenistaan. Aku jauh dari syari’ah-Nya. Entah apa yang ada dibenakku
hingga menjadikanku seperti ini.
Aku mendapat desakkan dari pengajar
dipondok ini untuk menikah dengan Aisyah. Sikap santri dan para pengajar begitu
memukulku dan membuatku tidak sanggup berapa disana. Kejadian pada sore itu
membuat para santri dan pengajar nampak begitu mebenciku. Aku tidak siap untuk
menikahi wanita yang aku cintai tanpa bekal apapun. Lalu apa yang harus aku
katakan kepada ummi nanti. Aku benar benar tertekan saat itu.
Ditengah
kesunyian malam, sang kebijaksanaan mendatangiku dan dia berdiri tepat
disampingku. Ia memandangku laksana seorang ibu yang sedang memperhatikan anak
tercintanya, lalu menyeka airmata yang sedari tadi membasahi wajahku tanpa
seorangpun yang menyeka seraya berkata.
“Aku
mendengar jeritan tangis jiwamu dan aku datang untuk menenangkanmu. Maka
bukalah pintu hatimu, niscaya aku akan mengisinya dengan cahaya melebur
kegelapan.” Seuntai kata yang entah terucap dari siapa membuatku bertekad untuk
segera pergi dari tempat Abiku mengabdi.
***
Sungguh ini
bukan mimpiku. Bukan keinginanku, ini jauh dari harapanku. Dengan baju yang
lusuh, rambut gimbal seraya membawa ransel aku terus menelusuri jalan. Entah
keputusan apa yang aku pilih sehingga mengantarkannku menjadi seperti ini.
Aisyah. Aku ingin memilikimu.
Aku tak mengenal jati diriku.
Menanti hal yang belum tentu kudapatkan. Berharap besar dengan Aisyah.
“Aisyaaaaaaaaaaaaaaaaaaah” aku meneriakkan namanya berulang ulang setiap aku
melihat akhwat anggun dan mengenakan khimar sepinggang. Semua orang mungkin
telah menganggapku gila. Wajar saja, dengan pakaianku yang sangat lusuh dan
tingkahku yang tak lagi wajar.
Kujalani kehidupan baruku. Mungkin
banyak orang menganggapku sebagai gelandangan. Namun benakku terus menggeliat
untuk menolak itu. Aku hanya dalam penantian panjang. Kujalani kehidupanku
sebagai pencari cinta selama tujuh bulan. Aku mengetahui itu dari guru SMAN 1
Jombang. Seorang malaikat yang mengantarkankku kembali kejalan-Nya setelah
terjerambab jauh dalam kenistaan.
Ustadz Syihab membujukku untuk ikut
kepadanya dengan cara menjanjikan mempertemukannku dengan Aisyah. Wanita
idamanku. Wanita yang mengantarkankku menjadi seperti ini. Dia mengetahui aku
sedang dalam pencarian jati diri. Kebetulan ustadz Syihab memahami psikologi
seorang remaja. Dia begitu kritis menghadapi masalah akidah dan akhlak yang
kian memburuk, khususnya dikalangan remaja. Aku belajar banya darinya, sehingga
kini aku mulai kembali mendapatkan cahaya-Nya.
***
Kutundukkan
pandanganku sambil mengeratkan genggamanku pada ransel yang kukenakan. Berjalan
cepat, sambil menyenandungkan perjalanan menuju tempat aku menuntut ilmu. Aku
mulai terbiasa dengan cara memandang mereka yang selau mengernyitkan kedua
halisnya tiap kali melihatku. Bukan enggan menepisnya. Aku hanya ingin melewati
perjalanan matahari sejak dari ufuk timur hingga keufuk barat dengan ikhlas.
Aku membuka lembaran baru setelah memutuskan untuk meninggalkan pondok dan
melewati perjalan panjang dalam hidupku. Aku dititipkan oleh ustadz Syihab
untuk bersekolah di SMAN 1 Jombang. Aku menemukan sosok ayah pada dirinya.
Sungguh aku sangat menghormatinya.
Sejak
awal mengenyam pendidikan di SMA Negeri 1 Jombang, aku telah tinggal di Masjid
Nurul Iman. Hampir menginjak dua tahun aku telah menjadi ta’mir masjid sekolah
ini. Bagiku sebuah keuntungan bisa mengabdikan diri di rumah Allah. Merawat,
menjaga dan meramaikan masjid. Tak saja berburu amal baik dengan menjadi jamaah
setiap lima waktu, adzan, iqamah hingga menyapu dan mengepel lantai serta
membersihkan kaca jendela agar tak berdebu dan segala aktivitas lain. Dan yang
terpenting, shalat jama’ahku selau terjaga.
Bukan
ummi yang mengantarkannku. Ataupun abi yang menggiringku untuk menjadi ta’mir
masjid. Mungkin aku yang tak mampu mengendalikan rasa ini. Rasa yang seharusnya
tidak aku rasakan. Virus merah jambu yang membuatku enggan bertahan menjadi
santri di Tebuireng. Aisyah yang membuatku dipagut rindu yang kian menderu.
Aisyah
bukan satu-satunya yang menggiringku untuk menjadi ta’mir Masjid Nurul Iman.
Membuatku sebatangkara. Terbiasa dengan perkara. Entahlah aku tak mau
bersuudzon. Tapi paradigma para pengajar dan para santri membuat aku tak
sanggup untuk berdiri sempurna di pondok Tebuireng.
***
Bunga
melihat daun-daunnya tidur mendekap rindunya. Malam semakin larut. Kini tinggal
aku sendiri di dalam masjid. Beberapa lampu di serambi masjid telah padam.
Hanya lampu didalam masjid ini yang kubiarkan menyala. Bersembunyi dari balik
sarungku dari terpaan angin yang menerobos celah pintu masjid. Aku meneruskan
membaca Al-Quran kembali. Aku membuka selubung gelap kehidupankku. Mendekatkan
diri kepada-Nya.
Tak
akan kutukar duka lara hatiku dengan suka cita manusia. Aku tak rela bila
airmata yang mengucur dari setiap kesedihan diri menjadi tawa. Biarlah hidupku
berkubang airmata dan senyuman. Air mata yang menyucikan hidupku dan membuatku
faham akan rahasia-rahasia hidup dan misterinya.
Tak
pernah terlintas dibenakku hingga saat ini aku dapat berdiri kokoh. Kuharap
langkahku selau diiringi dengan Ridho-Nya. Bukan tak tahu. Ridho Allah itu ada
pada Ridho orang tua. Tapi apa daya. Aku hanya bisa membiarkan jalan hidupku
bersenandung menyusuri lembah dan berharap berakhir di hamparan laut biru nan
indah.
Menginjak
dua puluh dua juz. Bukan menjadi profesor yang ummi harapkan. Hafidz adalah
dambaan Ummi. Aku tahu benar itu. Ingin rasanya menghempaskan jiwa dan raga ini
dipelukan ummi setelah lama tak kulihat senyum santunnya sejak 3 tahun yang
lalu. Namun saat ini aku belum mampu menyusuri Jombang menuju kota Kembang. Aku
tahu Ummi akan kecewa dengan keputusanku
berhenti menjadi santri. Tapi aku yakin
kekecewaan ummi tak akan sebesar kekecewaan bila aku berhenti berusaha menjadi
hafidz.
***
Aku
melihat tabib sedang bermain dengan jiwa orang-orang sederhana dan penuh
kejujuran. Aku melihat seseorang acuh tak acuk duduk bersama si bijak, sambil
mengagungkan masa lalu ketika tahta berjaya, menghiasi masa kini mereka dengan
jubah-jubah yang berlimpah dan menyipakan sebuah ranjang mewah untuk masa
depan.
Warna
warni kehidupan telah kujalani. Kehidupan baruku jauh berbeda dengan
kehidupanku selama satu tahun lamanya di Tebuireng. Pelayan kedai yang begitu
melelahkan. Pembimbing olympiade kebumian bagi rekan itu sungguh menyenangkan.
Mengajar ngaji di taman kanak-kanak penuh pelajaran. Berlatih keras menghadapi
olympiade kebumian hingga menjadi perwakilan Provinsi Jawa Timur itu
kubanggakan. Semua kulewati dengan ikhlas. Untuk Ummi, Abi dan ananda adik
tercintaku, Taufik.
Bingung
dengan ketiga kewajibanku selalu mewarnai hariku. Jika terlambat masuk kelas
jelas merugikan. Jika aku fokuskan kewajiban menuntut ilmu, jelas tak mungkin
kubiarkan rumah Allah berlapis debu dan usang. Jika aku hanya merawat masjid,
bagaimana masa depanku, sosialku yang mulai memikirkan pendamping hidup. Penuh
suka duka memang. Hanya mampu bersimpuh dikeheningan malam seraya berdoa
kepada-Nya.
Pundi-pundi
mulai terkumpul. Tak akan kubiarkan rindu tak bertepi. Aku hubungi ummi yang
berada di Kota Kembang. Aku harap Ummi rasakan yang sama. “Fokuskan dirimu
menjadi seorang hafidz, hanya itu yang membuat Ummi bahagia”. Seuntai kata yang
menyesakkan. Membuat airmata enggan berhenti membasahi wajahku. Ummi bersikeras
melarangku untuk pulang.
***
Tiga tahun dipagut rindu disetiap
senja untuk berjumpa dengan ummi dan sanak keluarga. Aku berharap hari ini ummi
berada didepanku menyaksikanku melantunkan ayat suci. Berhasil menjadi hafidz
genap diusia delapan belas tahun. Hanya ada Taufik, paman dan bibi. Sungguh luka begitu dalam, luka sayat yang belum
sempat terobati kian membesar. Luka ini terlalu pagi untuk beranjak. Jangankan
untuk beranjak, kini aku pikir aku tak lagi mampu berpijak.
***
Tibalah aku dirumah tempat aku
mengukir senyum selama lima belas tahu lamanya dengan begitu resah.
Memanggil-manggil ummi. Bibi hanya menyodorkan sepucuk surat dengan meneteskan
air mata perih sambil tersedu-sedu tanda luka yang begitu dalam, surat dari
Ummi sebelum kepergiannya. Sesak dada, entah apa yang harus ku ucapkan. Mengapa ummi tak memberi kesempatan untukku
membahagiakannya. Mengapa ummi membiarkan rindu ini tak bertepi. Membiarkanku
mengemban kekecewaan begitu besar. Menangis. Hanya mampu menangis. Aku tak tahu
harus kepada siapa aku luapkan kekecewaan ini. Aku teriakkan isak tangis dalam benakku. Maafkan
aku rindu,aku tak membiarkanmu bertepi.
Namun segera aku menepisnya.Hanya dapat
menyebut Abi dan Ummi disetiap doaku. Akan kujadikan hidupku hanya untuk
memberi mahkota pada ummi dan abi. Kini aku hanya mampu berusaha membimbing
Taufik sehingga dapat memberi mahkota yang lebih indah untuk ummi dan abi di
jannah-Nya.
***
Aku dan Taufik masih terbalur gamis
yang dibasahi airmata, berjalan meninggalkan masjid, untuk kembali kerumahku.
Dalam gamis merah marun penuh kasih, yang selau merindu untuk bertemu Sang
Khaliq, dalam sujud sujud panjangku dan adik tercintaku yang sejak kepergian
Abiku dirawat oleh paman dan bibi. Ummi dan abi akan selalu terbalut dalam
hati, dalam menapaki hari-hari penuh cinta.
Bulan bundar sempurna. Cahanyanya
yang benderang mampu menerangi separuh langit.
“Taufik akan segera mengkokohkan
iman ini. Menapaki setiap jalan yang Allah Ridhoi. Mohon doa restu, Mas.”
Mereka saling berpelukan dibawah
purnama. Erat. Dalam tangis haru yang menderu. Mereka masih berpelukan tatkala
seorang wanita menghampiri mereka. Wanita yang mengenakan gamis hijau. Rapi.
Berkacamata. Berhidung mancung dan berhalis tebal. Wanita yang memiliki mata
indah yang selalu membuatku jatuh cinta.
“Tahukah engkau, Adikku. Wanita
yang mencuri hati Mas mu ini dan membawanya ke jalan lurus milik Allah adalah
Mbak-mu, Aisyah.”